Adok (adoq) adalah sebutan untuk gelar kebangsawanan yang ada di
Lampung. Atau dg bahasa sederhana, darah biru nya orang Lampung. (baik
pada Jurai sebatin / pesisir atau pepadun /peminggir).
Berbeda dg Jurai pepadun (dialek nyo), pada Jurai sebatin
(dialek api) pemberian adok didasarkan pada Clan atau mengikuti garis
keturunan sang Ayah.
Dalam masyarakat Lampung, seorang penyandang adok disebut
penyimbang. Penyimbang atau tetua adat di jurai sebatin membawahi
beberapa penyimbang dibawahnya atau biasa juga disebut jakhu suku. Jakhu
suku inilah yang membawahi langsung masyarakat umum yang disebut Makhga
(marga) atau Kebuayan.
Adapun Hirarki atau tingkatan adok para penyimbang di jurai sebatin (dari tertinggi hingga terendah) adalah sbb:
-suntan / pangikhan /dalom.
-khaja / dipati.
-batin.
-khadin.
-minak.
-kimmas.
-mas / itton.
(@Diandra natakembahang poerba)
Kemudian masyarakat umum atau masyarakat tanpa adok yang disebut makhga atau kebuayan.
Karena didasarkan pada garis keturunan, seseorang yang bergelar
pangikhan (suntan) atau dalom, akan di gantikan oleh keturunan nya.
(anak tertua laki-laki) sebagai penyimbang berikut nya. dan begitu
seterusnya. Jadi pemberian gelar atau adok ini bukan dilihat dari
tingkatan sosial, ekonomi, penampilan atau kekuasaan dan jabatan
seseorang.
Inilah, kenapa menurut saya Adok atau Gelar di Lampung adalah Agung dan Sakral..
Namun, akhir2 ini di Lampung seakan 'latah' dg sering dan banyaknya
acara pemberian gelar yang dalam bahasa Lampung, disebut 'butetah'- ini.
Sebut saja yang terbaru, adalah pemberian adok kepada Menteri
Kehutanan, Zulkifli Hasan di Kota Agung Tanggamus. (pada Sabtu,
17.des.2011, silam)
Pemberian adok atau gelar ini diberikan oleh MPAL (Majelis
Penyimbang Adat Lampung) kabupaten Tanggamus, karena sang menteri
dinilai telah memberikan kontribusi yang besar thd pelestarian hutan di
propinsi Lampung.
Dan tidak tanggung-tanggung, sang Menteri yang juga putra daerah tsb
menerima gelar kehormatan 'pangeran'. atau lengkapnya, 'pangeran cagar
buana'.
Bersama beliau juga disematkan gelar 'pangeran', kepada SetKab
Tanggamus dan seorang anggota DPD RI. tentunya, juga kepada ketiga
pasangan masing-masing yang mulai saat itu bergelar ratu.
Pada hirarki di atas, jelas terlihat bahwa seorang pangeran (suntan)
atau dalom membawahi beberapa khaja, batin-batin dan juga memiliki anak
makhga atau kebuayan. lalu pertanyaan nya, siapa khaja2 dan makhga dari
pangeran cagar buana..??
Agak aneh dan lucu menurut saya karena 'pemberian adok' tsb justru dilakukan oleh jurai saibatin.
Kendati hanya dihadiri oleh penyimbang adat dari 5 marga (gunung
alip, belunguh, benawang, pematang sawa dan marga ngarip), bagi
pemerintah, ini tentunya tidak akan mengurangi keabsahan dari gelar
pangeran tsb.
Menurut ketua MPAL Tanggamus, 'pemberian adok ini bermakna
mengangkat saudara' atau bagi sebagian orang hanya di anggap sbg gelar
kehormatan'.
Saya justru bertanya., 'tidak cukupkah pemberian adok kimmas atau mas saja..?
Apakah dg pemberian adok kimmas atau mas kepada 'penyimbang dadakan'
ini akan mengurangi rasa hormat dan bangga dari jurai sebatin utama nya
di Tanggamus..?
Seorang penyimbang tentunya harus mendapat pengakuan dari semua marga dan kebuayan yang dipimpin nya.
Sebaliknya, seorang penyimbang harus berbangga dg penuh keikhlasan menjadikan dirinya seorang penyimbang adat.
Apalah arti sebuah piagam penyimbang tersematkan, namun hanya menjadi hiasan dinding di ruang makan, tanpa makna..
Orang-orang diluar Lampung mungkin akan maklum ketika seseorang
mendapatkan gelar pangeran. Dalam benak mereka, seorang Raja bisa saja
memberikan gelar kepada figur yang di anggap berjasa dalam karya-karya
nya demi kemajuan marga atau masyarakat.
Tapi di Lampung tidaklah sama. Pada hirarki lampung, suntan
(pangikhan) atau dalom adalah penyimbang tertinggi. Bukan Raja, seperti
di daerah lain.
Ketika ini menjadi sebuah 'pemakluman' oleh orang-orang diluar
Lampung, maka menurut saya, inilah yg akan mengecilkan arti, keagungan,
dan kesakralan budaya Lampung itu sendiri.
Seorang Gubernur tidak seharusnya merangkap penyimbang adat.
Dikhawatirkan akan terjadi tumpang tindih kebijakan yg berhubungan dg
adat istiadat. Penyimbang adat harus menjadi central control adat, tanpa
di campuri kepentingan dan kekuasaan.
Saya lalu sedikit berangan-angan dan berikhlas ria, seandainya gelar
atau adok pangikhan disematkan kepada salah seorang 'sesepuh' di desa
Cikoneng kecamatan Anyer kabupaten Serang Banten (pekon pak).
Persahabatan dan kemuakhian antara Cikoneng dan Lampung yg sudah
berjalan lebih dari 400 tahun, dan masyarakat Cikoneng yg bangga mengaku
bagian dari Lampung adalah salah satu alasan saya., kenapa Lampung
Cikoneng 'sunnah' mempunyai seorang pangikhan.
Ini di buktikan dg masih dipakai nya budaya, bahasa dan adat istiadat di daerah majemuk tersebut.
TABIK..
Boleh nanya dikit ya.... kalo adok Kriya dan tumenggung bisa disejajarkan dengan tingkat keberapa ya....
BalasHapusSalam puakhi.... hayo siarkan selalu budaya kham...agar jelma lampung pandai aturan adat
BalasHapussebelum nya maaf kalau pendapat saya keliru..
BalasHapuskriya atau tumenggung itu bukan tingkatan adok. melainkan nama dari adok tsb. tingkatan nya bisa saja raja, batin, dalom, minak dsb.
contoh: Raja tumenggung, minak tumenggung dsb.
payu bang... lapah jejama.
BalasHapus