Minggu, 01 Juli 2012

"ADOK LAMPUNG. dulu SAKRAL, kini DI OBRAL"

Adok (adoq) adalah sebutan untuk gelar kebangsawanan yang ada di Lampung. Atau dg bahasa sederhana, darah biru nya orang Lampung. (baik pada Jurai sebatin / pesisir atau pepadun /peminggir).
Berbeda dg Jurai pepadun (dialek nyo), pada Jurai sebatin (dialek api) pemberian adok didasarkan pada Clan atau mengikuti garis keturunan sang Ayah.
Dalam masyarakat Lampung, seorang penyandang adok disebut penyimbang. Penyimbang atau tetua adat di jurai sebatin membawahi beberapa penyimbang dibawahnya atau biasa juga disebut jakhu suku. Jakhu suku inilah yang membawahi langsung masyarakat umum yang disebut Makhga (marga) atau Kebuayan.

Adapun Hirarki atau tingkatan adok para penyimbang di jurai sebatin (dari tertinggi hingga terendah) adalah sbb:
-suntan / pangikhan /dalom.
-khaja / dipati.
-batin.
-khadin.
-minak.
-kimmas.
-mas / itton.

(@Diandra natakembahang poerba)
Kemudian masyarakat umum atau masyarakat tanpa adok yang disebut makhga atau kebuayan.

Karena didasarkan pada garis keturunan, seseorang yang bergelar pangikhan (suntan) atau dalom, akan di gantikan oleh keturunan nya. (anak tertua laki-laki) sebagai penyimbang berikut nya. dan begitu seterusnya. Jadi pemberian gelar atau adok ini bukan dilihat dari tingkatan sosial, ekonomi, penampilan atau kekuasaan dan jabatan seseorang.
Inilah, kenapa menurut saya Adok atau Gelar di Lampung adalah Agung dan Sakral..

Namun, akhir2 ini di Lampung seakan 'latah' dg sering dan banyaknya acara pemberian gelar yang dalam bahasa Lampung, disebut 'butetah'- ini.
Sebut saja yang terbaru, adalah pemberian adok kepada Menteri Kehutanan, Zulkifli Hasan di Kota Agung Tanggamus. (pada Sabtu, 17.des.2011, silam)
Pemberian adok atau gelar ini diberikan oleh MPAL (Majelis Penyimbang Adat Lampung) kabupaten Tanggamus, karena sang menteri dinilai telah memberikan kontribusi yang besar thd pelestarian hutan di propinsi Lampung.
Dan tidak tanggung-tanggung, sang Menteri yang juga putra daerah tsb menerima gelar kehormatan 'pangeran'. atau lengkapnya, 'pangeran cagar buana'.
Bersama beliau juga disematkan gelar 'pangeran', kepada SetKab Tanggamus dan seorang anggota DPD RI. tentunya, juga kepada ketiga pasangan masing-masing yang mulai saat itu bergelar ratu.

Pada hirarki di atas, jelas terlihat bahwa seorang pangeran (suntan) atau dalom membawahi beberapa khaja, batin-batin dan juga memiliki anak makhga atau kebuayan. lalu pertanyaan nya, siapa khaja2 dan makhga dari pangeran cagar buana..??
Agak aneh dan lucu menurut saya karena 'pemberian adok' tsb justru dilakukan oleh jurai saibatin.

Kendati hanya dihadiri oleh penyimbang adat dari 5 marga (gunung alip, belunguh, benawang, pematang sawa dan marga ngarip), bagi pemerintah, ini tentunya tidak akan mengurangi keabsahan dari gelar pangeran tsb.
Menurut ketua MPAL Tanggamus, 'pemberian adok ini bermakna mengangkat saudara' atau bagi sebagian orang hanya di anggap sbg gelar kehormatan'.
Saya justru bertanya., 'tidak cukupkah pemberian adok kimmas atau mas saja..?
Apakah dg pemberian adok kimmas atau mas kepada 'penyimbang dadakan' ini akan mengurangi rasa hormat dan bangga dari jurai sebatin utama nya di Tanggamus..?
Seorang penyimbang tentunya harus mendapat pengakuan dari semua marga dan kebuayan yang dipimpin nya.
Sebaliknya, seorang penyimbang harus berbangga dg penuh keikhlasan menjadikan dirinya seorang penyimbang adat.
Apalah arti sebuah piagam penyimbang tersematkan, namun hanya menjadi hiasan dinding di ruang makan, tanpa makna..

Orang-orang diluar Lampung mungkin akan maklum ketika seseorang mendapatkan gelar pangeran. Dalam benak mereka, seorang Raja bisa saja memberikan gelar kepada figur yang di anggap berjasa dalam karya-karya nya demi kemajuan marga atau masyarakat.
Tapi di Lampung tidaklah sama. Pada hirarki lampung, suntan (pangikhan) atau dalom adalah penyimbang tertinggi. Bukan Raja, seperti di daerah lain.
Ketika ini menjadi sebuah 'pemakluman' oleh orang-orang diluar Lampung, maka menurut saya, inilah yg akan mengecilkan arti, keagungan, dan kesakralan budaya Lampung itu sendiri.

Seorang Gubernur tidak seharusnya merangkap penyimbang adat. Dikhawatirkan akan terjadi tumpang tindih kebijakan yg berhubungan dg adat istiadat. Penyimbang adat harus menjadi central control adat, tanpa di campuri kepentingan dan kekuasaan.

Saya lalu sedikit berangan-angan dan berikhlas ria, seandainya gelar atau adok pangikhan disematkan kepada salah seorang 'sesepuh' di desa Cikoneng kecamatan Anyer kabupaten Serang Banten (pekon pak).
Persahabatan dan kemuakhian antara Cikoneng dan Lampung yg sudah berjalan lebih dari 400 tahun, dan masyarakat Cikoneng yg bangga mengaku bagian dari Lampung adalah salah satu alasan saya., kenapa Lampung Cikoneng 'sunnah' mempunyai seorang pangikhan.
Ini di buktikan dg masih dipakai nya budaya, bahasa dan adat istiadat di daerah majemuk tersebut.

TABIK..

4 komentar:

  1. Boleh nanya dikit ya.... kalo adok Kriya dan tumenggung bisa disejajarkan dengan tingkat keberapa ya....

    BalasHapus
  2. Salam puakhi.... hayo siarkan selalu budaya kham...agar jelma lampung pandai aturan adat

    BalasHapus
  3. sebelum nya maaf kalau pendapat saya keliru..
    kriya atau tumenggung itu bukan tingkatan adok. melainkan nama dari adok tsb. tingkatan nya bisa saja raja, batin, dalom, minak dsb.
    contoh: Raja tumenggung, minak tumenggung dsb.

    BalasHapus